Fenomena Meme Film Pengabdi Setan di Media Sosial, Melalui Analisa Psikologi Media.
Pengabdi Setan (2017) merupakan film horror daur ulang yang dirilis pada tanggal 28 September 2017. Belum genap 4 minggu, film ini telah mencapai angka 3 juta orang penonton—disebut-sebut sebagai film Indonesia bergenre horror terlaris sepanjang masa.
Sutradara Joko Anwar memiliki presensi media sosial yang bisa dibilang sangat besar, dapat dibuktikan dengan jumlah angka pengikutnya di media sosial Twitter yang mencapai angka 1,48 juta orang. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa film Pengabdi Setan terlihat sangat mudah mencuri perhatian di media sosial.
Berbicara tentang media sosial, rasanya sulit dipisahkan dengan keberadaan Meme. Meme adalah gambar, video, atau sekumpulan kata yang mengandung unsur humor, dan disebarkan melalui internet. Meme biasanya ringan dan mudah diterima semua kalangan, menjadikannya salah satu cara tepat untuk mempromosikan sebuah produk. Fenomena ini dapat dibuktikan dengan viralnya meme film Pengabdi Setan, dimana Joko Anwar sebagai sutradara film tersebut sendirilah yang menginisiasi penyebarannya.
Berdasarkan analisa Psikologi Media, teori yang cocok untuk menggambarkan fenomena ini adalah teori pemrosesan pesan media milik Alden et al. (2000), yang dibahas dalam jurnal “Effects of Incongruity, Surprise and Positive Moderators on Perceived Humor in Television Advertising”.
Dalam jurnal tersebut, dijelaskan bahwa ketidaksesuaian (incongruency) pada media promosi memunculkan perasaan surprised, yang nantinya perasaan surprised tersebut akan memunculkan kesan jenaka.
Pada kasus meme Pengabdi Setan, teori incongruency dapat dibuktikan dari adanya ketidaksesuaian ekspektasi calon penonton dengan kesan yang ditampilkan pada meme. Pengabdi Setan merupakan film horror yang seharusnya diasosiasikan dengan rasa takut dan tidak nyaman. Kemunculan meme ini justru menyebabkan kesan yang sebaliknya.
Pada meme yang menjadi viral, karakter Ibuk tetap terlihat berdandan seperti arwah yang menyeramkan (hal ini memberikan kesan familiar warganet dengan penggambaran hantu), hanya saja Ibuk ditempatkan pada lokasi yang sangat kontras dengan konsep karakternya, seperti di pantai, bahkan di pelukan Chicco Jerikho (ketidaksesuaian dengan ekspektasi warganet bahwa arwah seharusnya tinggal di tempat menyeramkan).
Dalam teori incongruency, terdapat 3 faktor kontekstual yang dapat memicu perasaan positif pada calon konsumen. Faktor pertama adalah playfulness. Menurut Glynn dan Webster (1992, p. 85), playfulness adalah pendefinisian kembali suatu fenomena dengan cara yang imajinatif dan menyenangkan. Karakter Ibuk yang menyeramkan mengalami pembaruan definisi dengan cara yang imajinatif (mengedit foto Ibuk ke dalam berbagai latar).
Faktor kedua adalah ease of resolution, seberapa besar usaha yang diperlukan untuk memahami situasi yang inkongruen dalam media promosi. Meme mudah menyebarluas di internet salah satunya karena kemudahannya untuk dimengerti oleh berbagai kalangan. Tidak sulit memahami mengapa karakter Ibuk tiba-tiba menjadi lawan main Ryan Gosling pada poster film La La Land.
Terakhir, faktor warmth, atau reaksi positif yang ditandai dengan rasa kesejahteraan (Aaker, Stayman dan Hagerty 1986). Mengonsumsi lelucon atau media promosi yang bersifat jenaka, menurut Relief Theory, dapat mereduksi rasa tegang atau tidak nyaman (Berlyne, 1972; Meyer, 2000). Dengan berkurangnya rasa tegang atau tidak nyaman, seseorang dapat merasa sejahtera. Ibuk, sebelum menjadi meme, menyebabkan rasa tegang ketika para penonton Pengabdi Setan melihatnya. Kehadiran meme Ibuk menggantikan kesan menyeramkan dengan kesan jenaka, yang pada akhirnya dapat mereduksi rasa tegang dan menciptakan rasa tenang bagi para audiens.